Skip to main content

Yang salah dengan Tio

Langit sudah gelap saat Nina menyudahi kelasnya hari ini, dan ia langsung keluar dari kelasnya begitu muridnya yang terakhir keluar.


"Hai mbak, udah selesai ngajarnya?"


Nina mendengar ada yang memanggilnya ketika ia turun tangga, ternyata Rama, yang berjalan ke arahnya.


"Hai, iya nich udah selesai." (dalam hati Nina berpikir: duh, dari dulu aku dipanggilnya mbak terus).


"Gimana kelasnya hari ini mbak?"


"Mmmm, lumayan deh, kalo mas." (entah kenapa Nina selalu memanggil mas dengan Rama).


"Alhamdulillaah lancar. Mbak Nina,punya bahan apa untuk di kelas biar
kelasnya hidup?"


"Mmmm, apa ya mas? aku sendiri suka spontan aja sih kalo di kelas," Nina terkekeh malu.


"Tapi kan mbak lulusan Sastra, pasti banyak bahan donk," Rama, tersenyum.


"Aaaah gak juga kok, tapi besok aku bawain deh games buat di kelas."


"Makasih yaa."


Rama dan Nina sampai di kantor, di situ ada Santi yang lagi di depan komputer.


"San, Tio belum dateng?" bisik Nina ke Santi.


"Belum tuh, kenapa?"

"iya, kenapa sich San? orang gak jelas gitu loe tanyain?!"


"Iiiih kenapa sich loe Dil, dateng-dateng kok marah-marah?"
Nina bertanya, heran. Sahabatnya Dila ini memang unik, ceplas-ceplos, gampang emosian, tapi cepet redanya juga.


Masih dengan nada tinggi Dila menjawab,"aah males gue ngomongin dia, loe gak tau sich Na, tadi dia ngomong apa ke Santi."


"Loh emang tadi dia ngomong apa ke eloe San?"
Nina memandang Santi dengan pandangan bertanya.


"Mmm, udah ah gak usah dibahas." Santi beranjak dari duduk.


"Lho, kok gak usah dibahas sich? emang kenapa sich? Nina mencoba bertanya lagi sambil mengikuti Santi.


"Gak kok, gak ada apa-apa. Tio gak ngomong apa-apa," elak Santi.


Nina gak bisa ngomong lagi karena Santi sudah keburu keluar menuju kamar mandi.


"Dil, kenapa sich?" Nina menghampiri Dila.


Dila gak bisa menjawab, karena Tio, orang yang lagi mereka bicarain, sudah masuk ke kantor.


"Ya udah deh Dil, gue pulang dulu ya kalo gitu, Assalamualaikum," sambil mencium kening sahabatnya, Nina pamit.


" Ya udah, hati-hati ya."


Nina pulang ke rumah, tapi dengan tanda tanya besar ngeliat sikap kedua sahabatnya itu. *********************************************************************
Jam setengah delapan malam, akhirnya Nina nelpon Santi.


Semenit..
dua menit..
tiga menit...

baru terdengar bunyi handphone diangkat di seberang sana.


"Assalamualaikum."


"Waalaikumussalam San, ini gue,"
jawab Nina.


"Eh Na, ada apa?"


Tanpa basa-basi lagi Nina ngomong, "San, kenapa sich tadi? emangnya Tio ngomong apa sama eloe?"


Terdengar tawa Santi di ujung telpon, "aduuuh Na, loe tuh ya, masih yang tadi aja ditanyain."


"Iiiih gue serius nich, ayo doong kasih tau."


Suara Santi berubah, serius, "Jadi gini Na, waktu loe masuk kelas tadi, gue tuh ngajak ngobrol Tio. Gue bilang ke dia kalo dia tuh rajin banget ya ngajarnya, sampe pas pulangpun, dia yang selalu terakhir keluar kelas."


"Terus, dia jawab apa?"


"Terus dia jawab, kalo dia lebih seneng ngajar daripada jadi guru pengganti. Jujur Na, gue sedikit tersinggung, abis dia keliatan ngeremehin guru pengganti."


"Hah?? Dia yang ngomong gitu? Kok sombong banget sich?" kaget, Nina mendengar cerita Santi.


"Sorry ya Na, gue bukan mau ngejelek-jelekin Tio."


"Gak papa kok, San. Thanks udah cerita."


'Loe gak marah kan Na?"
suara Santi terdengar kuatir.


"Gak kok, ngapain harus marah. Ya sud, gue mau nonton dulu ya San. Assalamualaikum."


"Waalaikumussallam."


Setelah menelpon Santi, Nina kembali memencet tombol telponnya. Kali ini ia menelpon hapenya Dila.


"Woi," gaya khas Dila kalo terima telpon darinya.


"Dil, gue barusan telpon Santi and dia udah cerita," Nina langsung ke pokok pembicaraan


"Jadi loe udah tau donk."


"Iya, gue udah tau. Eh, tapi tadi kan loe bareng gue ke kelasnya, kok loe bisa denger?"


"Iya, tadi kita bareng kan, tapi ternyata gue ada yang ketinggalan di kantor. Nah pas gue balik itu, gue denger Tio ngomong gitu."


"Trus?"


"Nah..pas dia ngomong gitu, Santinya diem aja. Sumpah gue sebel Tio ngomong gitu, makanya gue bilang aja kalo jadi guru pengganti tuh gak apa-apa juga," suara Dila terdengar sedikit emosi.


"I see."


"Makanya Na, loe kok suka sich sama cowok model Tio gitu? Sombong!"


"Gue tadinya mengira dia cuman penampilannya aja yang dingin, gue gak mau suuzhon dulu Dil,"
suara Nina melemah.


"Nah, sekarang loe udah tau kalo Tio kayak gitu orangnya. Kalo gue sich males Na!"


"Sebenarnya gue udah merasa kok Tio orangnya agak-agak sombong, tapi gue gak mau ngejudge dia dulu. Karena gue toh belum pernah jalan sama dia.."


"Aduuuh Nindia Erraningtyas....loe masih berharap aja!" Dila berteriak dengan menyebut nama lengkapnya.


"Bukannya gitu Dil, dengerin dulu. Gue cuman pengen ngebuktiin kalo semua teori tentang Tio itu salah. Yang loe bilang kalo dia tuh sombong, angkuh, senga' itu salah. Tapi ternyata gue gak perlu jalan sama dia untuk ngebuktiin teori itu. Ternyata dia emang begitu," suara Nina terdengar sedih.


"Ya udahlaah Na, anggep aja dia cuman kereta yang lewat," Dila berusaha menghibur sahabatnya, wanita dengan hati selembut salju.


"Iya deh Dil, udah dulu yaa."


"Ya udah, byee."


"Byee."


Setelah menutup telpon, Nia termangu.


Aku termangu
diam


Saat tak ada kata-kata lagi
yang layak
diucapkan


Saat tak lagi ada
suatupun
dapat kulakukan


Setelah semua
sudah selesai
tak tersisa


Aku hanya bisu
dalam sunyi yang tercipta
ketika yang tercinta
pergi


Okelah, memang Tio dan aku pernah ngobrol. Tapi gak lebih dari 15 menit,
dan selama ini aku yang selalu memulai. Setiap telpon, setiap SMS. Tio gak
pernah memulai. Aku memang manusia bodoh.


Nina bermain dalam pikirannya sambil berbaring di tempat tidur.Tapi bukanlah seorang Nina yang akan menangis karena seseorang. Malah, dalam hati ia merasa marah.


Aku adalah bintang

dan bintang tak pernah meredup
walau kesedihan menerpa
seperti hujan
di malam hari

Hehehe....Masih bersambung ya

Comments

Popular posts from this blog

Nila di Belanga susu

S aat kamu mengira kalau kamu telah benar-benar mengenal seseorang yang telah kamu anggap dan menganggapmu sebagai seorang teman, orang itu mengatakan sesuatu yang begitu menusuk hati kamu. Saya telah dibunuh.. Butuh waktu yang tidak singkat bagi saya untuk mencerna kenyataan yang benar-benar terjadi pada diri saya saat itu. Butuh waktu bagi saya untuk belajar kalau tidak semua niat baik akan dianggap baik juga oleh orang lain. Butuh waktu bagi saya untuk berpikir apakah saya kurang mempertimbangkan perasaan orang lain dengan niat baik saya. Butuh waktu bagi saya untuk benar-benar menyadari kalau yang "seorang teman saya" katakan itu salah dan saya berhak untuk kecewa, marah dan sedih. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga Butuh waktu bagi saya untuk jujur pada diri saya sendiri apakah seseorang itu benar-benar layak menjadi teman saya. Yang terpenting, apakah saya masih ingin menjadi temannya? Saya tahu, manusia bisa berubah kapan saja dia mau. Menjadi lebih baik ataupu...

Menuju: pulang

"Kita akan melakukan perjalanan ke luar dari kita. Mari saudaraku, kita tundukkan kepala, pejamkan mata dan cobalah bersihkan hati kita." "Apaan sich? Norak ih." Runtukku (dalam hati saja). Tapi aku mengikuti yang lainnya, yang mulai menundukkan kepala mereka. "Saudaraku, kita sedang keluar dari diri kita. Dan kita dapat melihat kehidupan kita sendiri selama ini." "Lihat apa sich? Tidak ada apa-apa kok," batinku tapi tetap mencoba ikut dalam (yang kukira) permainan ini. Tapi.. potongan-potongan pagiku tadi mulai berkelebatan dalam benakku. Dimulai dari aku bangun pagi, aku yang selalu tergesa sebelum pergi, aku yang telah membentak asisten mamaku di rumah. Semuanya mulai bergulingan dalam benakku. Kepalaku mulai terasa berat. "Saudaraku, apa yang telah kau lakukan dengan hidupmu?" Dan kepingan-kepingan hidup diriku kembali berserakan. Tak sadar, aku terisak. Melihat aku yang begitu menyia-nyiakan banyak kesempatan untuk berbuat baik. Da...

Knowing "there"

Suatu siang di hari Sabtu.. "I don't belong there, mbak." Aku tersenyum, bukan karena aku menertawakan pemikiran temanku itu. Senyumku lebih karena aku sempat punya pemikiran seperti itu, dulu. Setiap saat aku berada di tengah-tengah orang lain yang kupanggil "teman", aku tidak bisa menghindar untuk tidak bertanya dalam hati, "apakah aku benar-benar termasuk dalam komunitas ini, atau aku hanya lagi memakai topeng nyamanku?" Tidak dapat kupungkiri kalau rasa jengah, kurang nyaman, malu ataupun terkadang minder sering aku rasakan bila lagi berkumpul dengan teman-temanku. Mungkin karena aku merasa terkadang pandanganku berbeda dengan teman-temanku. Juga gaya hidup mereka yang berbeda dengan aku. Bila kamu merasa tidak nyaman dengan teman-temanmu, apakah kamu harus pergi dari mereka? Hmmm, aku akan balik berkata.. "kenapa aku harus selalu mencoba untuk menyamakan bedaku untuk dapat diterima? Pilihan untuk hengkang dari "there" juga tidak per...