Untuk apa kita butuh bintang bila kita sudah memiliki bulan dan matahari?
Itu salah satu dari sekian komen yang aku dapet dari postingan puisi "Maaf untuk langit", yang aku buat minggu lalu. I can't help myself not to ponder about that question. Turned out, it's not an easy question to answer. Even when I'm in the middle of writing this, the BIG WHY is still holding on in my deepest mind. Sorry to disappoint you, but I can't answer that with long romantic explanations, and surely I can' asnwer without asking another question. Have you ever found yourself in the very darkest moment of your own life?
Alhamdulillaah, up to now my life has never been in that darkest moment. Well, there was one time I found myself not very sure of myself. But, Alhamdulillaah (again), I still have my so called pegangan, which is Sholat, curhat sama Allah.
And here comes my answer.
Bintang mungkin keliatannya kecil kalau kita menengadahkan kepala ke langit. Dan mungkin juga, tidak setiap malam bintang diijinkan Sang Pencipta untuk menghiasi langit. Bintang hanyalah sebuah metafora hidup, sama seperti matahari dan bulan.
Aku mengandaikan matahari dan bulan sebagai setiap orang, setiap kejadian, setiap hal yang membuat hidup kita menjadi lebih berwarna, sesuatu yang menaikturunkan emosi kita dalam menjalani hidup. Sama kan dengan matahari yang terkadang membuat hari kita menjadi panas sekali, tapi di lain waktu kita butuh matahari untuk bersinar.
Tapi, matahari dan bulan saja tidak cukup. Sadar tidak, kalau masing-masing kita pasti punya bintang? Aku percaya banget, bintang yang sinarnya terang sekali ada di lubuk hati yang paling teramat dalam di hati kita masing-masing. Bintang inilah yang paling dapat kita andalkan dalam hidup kita sendiri. Kalau ada yang masih butuh bintang, bukan berarti hatinya tidak cukup terbuka. Tapi mungkin, hidupnya terlalu penuh dan disibukkan dengan matahari dan bulan yang lalu-lalang dalam hidupnya, sehingga saat bintang ingin bersinar, kita terlalu sibuk untuk melihat sinarnya.
Ini hanyalah pemikiranku. Saat ini akupun lagi berusaha untuk menangkap sinar bintang dalam diriku.
Itu salah satu dari sekian komen yang aku dapet dari postingan puisi "Maaf untuk langit", yang aku buat minggu lalu. I can't help myself not to ponder about that question. Turned out, it's not an easy question to answer. Even when I'm in the middle of writing this, the BIG WHY is still holding on in my deepest mind. Sorry to disappoint you, but I can't answer that with long romantic explanations, and surely I can' asnwer without asking another question. Have you ever found yourself in the very darkest moment of your own life?
Alhamdulillaah, up to now my life has never been in that darkest moment. Well, there was one time I found myself not very sure of myself. But, Alhamdulillaah (again), I still have my so called pegangan, which is Sholat, curhat sama Allah.
And here comes my answer.
Bintang mungkin keliatannya kecil kalau kita menengadahkan kepala ke langit. Dan mungkin juga, tidak setiap malam bintang diijinkan Sang Pencipta untuk menghiasi langit. Bintang hanyalah sebuah metafora hidup, sama seperti matahari dan bulan.
Aku mengandaikan matahari dan bulan sebagai setiap orang, setiap kejadian, setiap hal yang membuat hidup kita menjadi lebih berwarna, sesuatu yang menaikturunkan emosi kita dalam menjalani hidup. Sama kan dengan matahari yang terkadang membuat hari kita menjadi panas sekali, tapi di lain waktu kita butuh matahari untuk bersinar.
Tapi, matahari dan bulan saja tidak cukup. Sadar tidak, kalau masing-masing kita pasti punya bintang? Aku percaya banget, bintang yang sinarnya terang sekali ada di lubuk hati yang paling teramat dalam di hati kita masing-masing. Bintang inilah yang paling dapat kita andalkan dalam hidup kita sendiri. Kalau ada yang masih butuh bintang, bukan berarti hatinya tidak cukup terbuka. Tapi mungkin, hidupnya terlalu penuh dan disibukkan dengan matahari dan bulan yang lalu-lalang dalam hidupnya, sehingga saat bintang ingin bersinar, kita terlalu sibuk untuk melihat sinarnya.
Ini hanyalah pemikiranku. Saat ini akupun lagi berusaha untuk menangkap sinar bintang dalam diriku.
Sekali lagi, aku tidak lagi berusaha untuk menjawab the BIG WHY dengan penjelasan yang romantis atau puitis apalagi mellow. Aku hanya berusaha untuk mendapatkan penjelasan dari sebuah WHY dengan jabaran yang dapat dimengerti (hopefully).
Comments