Skip to main content

Kereta Sekar Senja

Perempuan dengan rambut sebahu menaiki tangga kereta senja sore itu. Syalnya yang berwarna biru melambai-lambai menyelimuti lehernya yang jenjang. Tak banyak bawaan yang ia bawa, hanya 1 buah koper kecil hitam.

Sekar, nama perempuan itu, kini memasuki sebuah gerbong di sudut kereta. Begitu ia masuk, ia langsung mengunci pintu gerbongnya dan tak lupa ia tutup tirainya sehingga tak satupun orang yang dapat melihat ke dalam.
Ia mengeluarkan sebuah pigura dari dalam kopernya. Bila ada yang melihat wajah Sekar sekarang, akan sulit mereka menebak makna rautan wajahnya.

Sekar tersenyum...

"Tak lama lagi."

Malam mulai menggayuti bumi dan keretapun masih melaju.Ketika jarum jam berdetak pada angka 10, pintu gerbong di sudut kereta itu diketuk 3 kal (tok..tok..tok), seakan mengerti dengan kode yang telah disepakati maka pintupun terbuka. Dan si pengetok pintupun masuk ke dalam.

Kembali, gerbong di sudut kereta itu senyap.

“Aku telah datang sesuai janjiku," lelaki berkata.

"Iya, aku tahu. Apakah untuk selamanya?" Sekar bertanya pilu.

"Tak ada selamanya di dunia ini. Selamanya hanyalah sebuah kata, Sekar."

"Mauku bukan hanya kata, aku ingin kepastian."

Kereta masih melaju.

"Hanya kematian yang aka membawa kita terus bersama, bukan?"

"Kau membuatku takut, Sekar." Lelaki itu memalingkan wajahnya ke jendela. Aneh, padahal tak ada yang dapat dilihat di luar jendela itu. Hanya gulita, gelap.

"Tapi itu kan yang membuatmu tergila padaku, dan membuatmu meninggalkan Senja, istrimu."

Diingatkan akan Senja, istrinya, lelaki itu mengeluarkan suara seperti orang mengeluh. Seperti sesal yang ia pikul sepanjang hidupnya.

"Senja membuatku nyaman, kau membuatku hidup."

Sekar tertawa, seram..karena tawanya memecah keheningan malam yang telah merambat menuju jam 12.

"Kau egois! Kau tak bisa memilih, aku atau Senja."

Lelaki itu beranjak mendekati Sekar, seorang perempuan yang membenci dirinya. Harus mendengarkan gejolak batinnya sendiri, antara meninggalkan seseorang yang telah menjadi samudra hatinya ATAU meninggalkannya karena ia tak ingin menjadi perempuan perusak mahligai pernikahan perempuan lain.

"Kenapa kau membawa pigura fotoku, seperti orang mati saja," dengus lelaki itu tak senang, ingin mengubah arah pembicaraan.

"Mungkin karena aku ingin kau mati saja."

"Jangan bercanda Sekar. Aku belum ingin mati." Lelaki itu memeluk Sekar,hangat.

"Kenapa? Apa kau masih ingin menikmati cinta dua orang perempuan?" Sekar marah, amarah yang ia tahan sejak ia tahu samudra hatinya telah melabuhkan hatinya di perempuan lain juga. Tapi pelukan lelaki itu tak juga ia lepaskan, ia tak ingin melepaskannya.

Tok..tok..(pintu gerbong kembali ada yang mengetuk). Ada sekilas senyum di di bibir Sekar, senyum yang tak dilihat oleh lelaki yang berada di gerbongnya. Ia segera membuka pintu gerbongnya. Seolah ia telah melupakan kehadiran lelakinya. Lelaki yang kini tampak terkejut.

"SENJA!" Seru lelaki itu. Kaget, panik, takut.

"Waktunya telah tiba Sekar," perempuan yang dipanggil Senja itu berbicara dengan tenang, tak mengindahkan panggilan lelaki itu.

Sekar tersenyum dan mengambil sebilah pisau yang ia sembunyikan di bawah bantal.

"Apa maksudnya Sekar? Senja, ada apa ini? Kenapa kau bisa ada di sini?"

"Lelaki egois!
Kini kau tak bisa lagi hidup!"


Jam berdentang 2 kali, pagi telah menjelang. Keretapun sudah sampai di stasiun. Entah di kota apa. Baik Sekar maupun Senja tak peduli. Kini mereka telah bebas dari lelaki yang membuat mereka hidup dan nyaman.

****************

Dua perempuan turun dari kereta pagi itu. Memulai hidup baru di kota yang mereka tentukan berdasarkan lemparan koin. Tak peduli apapun.




Comments

Rofiul Hadi said…
Berarti si cowk itu mati dunk.. ap lompat dari kereta *halah ngaco :P
buderfly said…
boleh gak minta nomor hp si sekar dan si senja, Ya?
Labibah said…
yaya, cerpen ini bagus. kenapa gak coba dikirimkan ke batam pos?

-maknyak-
Lentera said…
huuuu, serem yay!

tapi endingnya emang mencengangkan... btw, aku jadi inget, dulu pengin ngasih Lentera nama Sekar Senja (Setengah Karo, Setengah Jawa) khihihihihihi.....

keep writing, yaya!

Popular posts from this blog

Nila di Belanga susu

S aat kamu mengira kalau kamu telah benar-benar mengenal seseorang yang telah kamu anggap dan menganggapmu sebagai seorang teman, orang itu mengatakan sesuatu yang begitu menusuk hati kamu. Saya telah dibunuh.. Butuh waktu yang tidak singkat bagi saya untuk mencerna kenyataan yang benar-benar terjadi pada diri saya saat itu. Butuh waktu bagi saya untuk belajar kalau tidak semua niat baik akan dianggap baik juga oleh orang lain. Butuh waktu bagi saya untuk berpikir apakah saya kurang mempertimbangkan perasaan orang lain dengan niat baik saya. Butuh waktu bagi saya untuk benar-benar menyadari kalau yang "seorang teman saya" katakan itu salah dan saya berhak untuk kecewa, marah dan sedih. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga Butuh waktu bagi saya untuk jujur pada diri saya sendiri apakah seseorang itu benar-benar layak menjadi teman saya. Yang terpenting, apakah saya masih ingin menjadi temannya? Saya tahu, manusia bisa berubah kapan saja dia mau. Menjadi lebih baik ataupu...

Menuju: pulang

"Kita akan melakukan perjalanan ke luar dari kita. Mari saudaraku, kita tundukkan kepala, pejamkan mata dan cobalah bersihkan hati kita." "Apaan sich? Norak ih." Runtukku (dalam hati saja). Tapi aku mengikuti yang lainnya, yang mulai menundukkan kepala mereka. "Saudaraku, kita sedang keluar dari diri kita. Dan kita dapat melihat kehidupan kita sendiri selama ini." "Lihat apa sich? Tidak ada apa-apa kok," batinku tapi tetap mencoba ikut dalam (yang kukira) permainan ini. Tapi.. potongan-potongan pagiku tadi mulai berkelebatan dalam benakku. Dimulai dari aku bangun pagi, aku yang selalu tergesa sebelum pergi, aku yang telah membentak asisten mamaku di rumah. Semuanya mulai bergulingan dalam benakku. Kepalaku mulai terasa berat. "Saudaraku, apa yang telah kau lakukan dengan hidupmu?" Dan kepingan-kepingan hidup diriku kembali berserakan. Tak sadar, aku terisak. Melihat aku yang begitu menyia-nyiakan banyak kesempatan untuk berbuat baik. Da...

Knowing "there"

Suatu siang di hari Sabtu.. "I don't belong there, mbak." Aku tersenyum, bukan karena aku menertawakan pemikiran temanku itu. Senyumku lebih karena aku sempat punya pemikiran seperti itu, dulu. Setiap saat aku berada di tengah-tengah orang lain yang kupanggil "teman", aku tidak bisa menghindar untuk tidak bertanya dalam hati, "apakah aku benar-benar termasuk dalam komunitas ini, atau aku hanya lagi memakai topeng nyamanku?" Tidak dapat kupungkiri kalau rasa jengah, kurang nyaman, malu ataupun terkadang minder sering aku rasakan bila lagi berkumpul dengan teman-temanku. Mungkin karena aku merasa terkadang pandanganku berbeda dengan teman-temanku. Juga gaya hidup mereka yang berbeda dengan aku. Bila kamu merasa tidak nyaman dengan teman-temanmu, apakah kamu harus pergi dari mereka? Hmmm, aku akan balik berkata.. "kenapa aku harus selalu mencoba untuk menyamakan bedaku untuk dapat diterima? Pilihan untuk hengkang dari "there" juga tidak per...