Skip to main content

Cerpen: Selubung hati

"Via belum mau pulang ya Nang?" Sayup-sayup kudengar suara mama di ruang tamu. Ah, mama pasti lagi menelpon mas Danang, kakakku, entah untuk kesekian kalinya di minggu ini.

"Ya sudah, tidak papa." Suara mama mengakhiri pembicaraan telponnya dengan Mas Danang.
Kali ini terdengar isak mama. Kalau sudah begini, seperti yang sudah-sudah....

"Ma, sabar ya ma," aku masuk ke ruang tamu dan mengusap pundak mamaku.

"Eh San..kamu sudah pulang? kaget, mama buru-buru menyeka airmatanya.

"Iya ma, hari ini muridnya libur. Kak Via..belum bisa pulang ya ma?" aku bertanya, hati-hati.

Mama diam.

Tapi, akupun udah tahu jawabnya.

****************************************

Aku Santi, dan Via itu kakakku. Udah 3 tahun kak Via gak pulang ke rumah. Mas Danang, abangkulah yang jadi harapan aku dan mama untuk membawa kak Via kumpul lagi sama kita.


3 tahun yang lalu, di Jakarta

"PUAS PAK, PUASSS??? REZA MENINGGAL! Kecelakaan!! Itu kan yang papa mau??? Pagi itu kak Via histeris di depan papa, sambil mengacung-acungkan foto Mas Reza.

Mas Reza itu tunangannya kak Via. Seminggu yang lalu Mas Reza meninggal, kecelakaan di jalan tol, tepat semalam sebelum hari pernikahannya sama kak Via. Kak Via syok, menyalahkan papa atas meninggalnya mas Reza. Papa emang gak pernah setuju kak Via sama mas Reza. Alasan klise: beda status.

Hari itu juga kak Via keluar dari rumah, tinggal sama keluarganya mas Reza di Surabaya. Gak mau ketemu sama mama, apalagi papa. Cuman sama aku dan Mas Danang, kak Via mau ketemu.

**********************************************
Aku menyusul mas Danang ke Surabaya, membantu mencairkan hati kak Via.

"Kak, kakak sayang sama Santi kan?"

"Kakak sayang sekali sama kamu dan Danang. Kalian itu adek-adekku."

"Kalo gitu, mbo' pulang kak." Kali ini mas Danang, yang dari tadi diam, ikut angkat bicara.

Aku mencoba bertanya, "kakak masih benci sama papa?"

"Aku ndak benci sama papa. Aku hanya muak melihat keangkuhan papa."

"Papa dulu khilaf kak, papa ngaku salah." Kak, mas

Reza udah tenang di alam sana. Please let him go," Mas Danang memegang tangan kak Via.

"Maaf San, Nang..kakak belum bisa ikut kalian pulang."

*************************************************
Akhirnya aku dan mas Danang kembali ke Jakarta, tanpa kak Via. Ternyata hati kak Via lebih hancur daripada hati mama dan papa. Dan..baik aku maupun mas Danang gagal menyatukan hatinya kak Via.





Comments

Linda said…
gak mau protes kok cuma mo ngeralat waktu santi nanya mama di ruang tamu, keknya kelebihan huruf "s" deh. jadinya mas? di kalimat sblm mama terdiam ;)
-syl- said…
Gak protes juga, cuma penikmat aja :) Keep on writing Ya ;)
Reti said…
wah cerpennya menyentuh & menghibur nih sore2 gini pas lg suntuk di ktr, thanks ya :) Thanks juga udah mampir... maen2 lagi yah Yaya! ^ ^
Kartina Mutien said…
asiik juga cerpennya..tapi gimana terusannya...bikin penasaran...
niena said…
mbak Yaya... cerpennya ok *acung jempol*, aku dari dulu paling suka baca cerpen :)... ada lanjutannya ga mba? *sambil cari-cari*

Popular posts from this blog

Nila di Belanga susu

S aat kamu mengira kalau kamu telah benar-benar mengenal seseorang yang telah kamu anggap dan menganggapmu sebagai seorang teman, orang itu mengatakan sesuatu yang begitu menusuk hati kamu. Saya telah dibunuh.. Butuh waktu yang tidak singkat bagi saya untuk mencerna kenyataan yang benar-benar terjadi pada diri saya saat itu. Butuh waktu bagi saya untuk belajar kalau tidak semua niat baik akan dianggap baik juga oleh orang lain. Butuh waktu bagi saya untuk berpikir apakah saya kurang mempertimbangkan perasaan orang lain dengan niat baik saya. Butuh waktu bagi saya untuk benar-benar menyadari kalau yang "seorang teman saya" katakan itu salah dan saya berhak untuk kecewa, marah dan sedih. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga Butuh waktu bagi saya untuk jujur pada diri saya sendiri apakah seseorang itu benar-benar layak menjadi teman saya. Yang terpenting, apakah saya masih ingin menjadi temannya? Saya tahu, manusia bisa berubah kapan saja dia mau. Menjadi lebih baik ataupu...

Menuju: pulang

"Kita akan melakukan perjalanan ke luar dari kita. Mari saudaraku, kita tundukkan kepala, pejamkan mata dan cobalah bersihkan hati kita." "Apaan sich? Norak ih." Runtukku (dalam hati saja). Tapi aku mengikuti yang lainnya, yang mulai menundukkan kepala mereka. "Saudaraku, kita sedang keluar dari diri kita. Dan kita dapat melihat kehidupan kita sendiri selama ini." "Lihat apa sich? Tidak ada apa-apa kok," batinku tapi tetap mencoba ikut dalam (yang kukira) permainan ini. Tapi.. potongan-potongan pagiku tadi mulai berkelebatan dalam benakku. Dimulai dari aku bangun pagi, aku yang selalu tergesa sebelum pergi, aku yang telah membentak asisten mamaku di rumah. Semuanya mulai bergulingan dalam benakku. Kepalaku mulai terasa berat. "Saudaraku, apa yang telah kau lakukan dengan hidupmu?" Dan kepingan-kepingan hidup diriku kembali berserakan. Tak sadar, aku terisak. Melihat aku yang begitu menyia-nyiakan banyak kesempatan untuk berbuat baik. Da...

Knowing "there"

Suatu siang di hari Sabtu.. "I don't belong there, mbak." Aku tersenyum, bukan karena aku menertawakan pemikiran temanku itu. Senyumku lebih karena aku sempat punya pemikiran seperti itu, dulu. Setiap saat aku berada di tengah-tengah orang lain yang kupanggil "teman", aku tidak bisa menghindar untuk tidak bertanya dalam hati, "apakah aku benar-benar termasuk dalam komunitas ini, atau aku hanya lagi memakai topeng nyamanku?" Tidak dapat kupungkiri kalau rasa jengah, kurang nyaman, malu ataupun terkadang minder sering aku rasakan bila lagi berkumpul dengan teman-temanku. Mungkin karena aku merasa terkadang pandanganku berbeda dengan teman-temanku. Juga gaya hidup mereka yang berbeda dengan aku. Bila kamu merasa tidak nyaman dengan teman-temanmu, apakah kamu harus pergi dari mereka? Hmmm, aku akan balik berkata.. "kenapa aku harus selalu mencoba untuk menyamakan bedaku untuk dapat diterima? Pilihan untuk hengkang dari "there" juga tidak per...