Skip to main content

Logika versus suara hati



Terkadang kita harus meninggalkan logika dan lebih mendengarkan suara hati

Kalau orang lain lebih sering bermain dengan logika dalam bertindak, saya justru kebalikannya. Malah dalam beberapa hal saya memilih lebih mendengarkan apa yang diminta suara hati, padahal kalau mengikuti logika "enggak banget". Contoh simplenya sih hari Minggu lalu waktu saya menghadiri acara pengajian keluarga.

Di pengajian tersebut dibahas ayat-ayat AlQuran satu demi satu, jadi yang hadir juga bergiliran membaca ayat-ayat tersebut. Beberapa kali mengikuti acara tersebut, tapi saya selalu menghindar buat ikut mendapat giliran membaca. Alasannya: malu. Saat itu logika saya kebanyakan ikut andil dalam bertindak.


"Kalau suara saya gak jelas gimana?"
"Saya kan cadel, nanti diketawain
lagi."
"Malu aah."

Dsb..dsb..intinya saya jadi tidak ikut membaca saja. Sampai di Minggu kemarin ketika tiba-tiba sang suara hati mendesak keluar, memaksa saya untuk bergerak.

Akhirnya setelah mematikan logika saya barang sejenak, saya memberanikan diri ikut membaca ayat-ayat suci AlQuran yang itu juga.

Sederhana ya?

Emang, tapi saya sudah berhasil untuk bergerak dan mendengarkan suara hati pada akhirnya.

Comments

Nendy said…
Ass. Wr wb,

Apa kabar Yaya?... Lama gak masuk sini. Sukses selalu.
Neng Keke said…
Ikutin suara hati dah paling bener kok, ya... :)
Nana said…
salaam kangen buat Yaya..

;) hugs, Mbak Na

Popular posts from this blog

Nila di Belanga susu

S aat kamu mengira kalau kamu telah benar-benar mengenal seseorang yang telah kamu anggap dan menganggapmu sebagai seorang teman, orang itu mengatakan sesuatu yang begitu menusuk hati kamu. Saya telah dibunuh.. Butuh waktu yang tidak singkat bagi saya untuk mencerna kenyataan yang benar-benar terjadi pada diri saya saat itu. Butuh waktu bagi saya untuk belajar kalau tidak semua niat baik akan dianggap baik juga oleh orang lain. Butuh waktu bagi saya untuk berpikir apakah saya kurang mempertimbangkan perasaan orang lain dengan niat baik saya. Butuh waktu bagi saya untuk benar-benar menyadari kalau yang "seorang teman saya" katakan itu salah dan saya berhak untuk kecewa, marah dan sedih. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga Butuh waktu bagi saya untuk jujur pada diri saya sendiri apakah seseorang itu benar-benar layak menjadi teman saya. Yang terpenting, apakah saya masih ingin menjadi temannya? Saya tahu, manusia bisa berubah kapan saja dia mau. Menjadi lebih baik ataupu

Yohan dan Mbak Surastilah akhirnya ketemu

Maaf nich yang gak suka sama Petir, berhubung aku suka dan menikmati acara itu..sekarang aku mau cerita tentang Petir lagi. akhirnya ketemu sama Mbak Surastilah. Hik...bener-bener mengharukan dech adegan pertemuan mereka, Yohan langsung sungkem sama Mbak Surastilah dan bawain beberapa makanan untuk mbak Surastilah. Bukannya membangga-banggain Yohan nich, tapi apa yang aku liat, itulah yang aku nilai. Dan gak mungkin hal seperti ini sudah dibuatin script dialognya (kayak sinetron).

My 2 cents

It started a couple of months ago, when I wanted to get rid of several books I own by having a book giveaway in my blog. Unlucky me, the moment is also coincided with an event held by an institution who collected books for donations. Then, I mus say this...unfortunately, some people started to question me.. "why didn't I donate them?" "you know, there are others who can't afford to buy book, etc..etc.." Ok, honestly... I was annoyed . Wasn't it enough that I said "this time I wanna give the books away with MY way? Oh please, don't use the this-is-Ramadhan,-so-it's-a-great-way-to-do-nice-things-for-others-excuse . Not to be defensive or anything, if I want to do great things I don't have to let the whole wide world know, don't I? and don't you agree there are still other nice ways to do the so called great things? Just my 2 cents..