Skip to main content

Stempel

Nyadar gak sich kalo kita secara gak langsung suka ngasih stempel ke orang? Misalnya aja stempel -stempel yang melekat di diri Yaya sendiri. Sampai-sampai di testimonial friendsterku ada yang nulis : Yaya itu AFI, AFI, AFI, sekali lagi AFIIIIII (saking senengnya Yaya sama AFI).
Stempel yang lainnya yang ada di Yaya yaitu aku ini "banci milis" banget, saking buanyaknya milis yang aku ikuti. Bener sich, sebenarnya stempel yang ini ;) soalnya Yaya dan milis udah kayak amplop dan perangko. Satu "stempel" yang aku sukaaaaa banget yaitu : Queen Of Love :) Seorang yang bijaksana sekali (menurutku) memberikan gelar ini setahun yang lalu.
Gak apa-apa sich kalo stempel yang dikasih berdasarkan kenyataan yang ada dan nadanya cuman untuk bercanda aja. Tapi kalo stempel yang dikasih udah berdasarkan penglihatan secara kasar aja gimana?
Sebenarnya stempel "miss curhat itu baik atau buruk ya? Mmmmm...karena ada yang ngasih aku stempel ini, aku jadi mikir lebih dalam lagi tentang makna "miss curhat". Bisa dibilang stempel yang baik, bisa juga dibilang stempel yang buruk, tergantung dari sisi mana ngeliatnya.
Sisi baiknya : dibilangin miss curhat berarti kita adalah orang yang ekspresif mengungkapkan isi hati kita sendiri kepada orang yang kita udah yakin kalo dia gak ember'.
Sisi buruknya : kalo miss curhat, curhatnya ke beberapa orang (apalagi orang yang baru dia kenal).
Stempel "miss curhat" yang ada di aku membuat aku jadi merenung daleeeem banget. Bener gak sich seorang Yaya itu "miss curhat"? Ternyata setelah direnungkan dalam-dalam, bener kok stempel itu karena seorang Yaya adalah orang yang most of the times, ekspresif. Tapi salah besar kalo stempel ini membuat orang mengira aku miss curhat yang sembarangan numpahin curhatannya ke sembarang orang.
Jadi, stempel? siapa takut....

Comments

Popular posts from this blog

Nila di Belanga susu

S aat kamu mengira kalau kamu telah benar-benar mengenal seseorang yang telah kamu anggap dan menganggapmu sebagai seorang teman, orang itu mengatakan sesuatu yang begitu menusuk hati kamu. Saya telah dibunuh.. Butuh waktu yang tidak singkat bagi saya untuk mencerna kenyataan yang benar-benar terjadi pada diri saya saat itu. Butuh waktu bagi saya untuk belajar kalau tidak semua niat baik akan dianggap baik juga oleh orang lain. Butuh waktu bagi saya untuk berpikir apakah saya kurang mempertimbangkan perasaan orang lain dengan niat baik saya. Butuh waktu bagi saya untuk benar-benar menyadari kalau yang "seorang teman saya" katakan itu salah dan saya berhak untuk kecewa, marah dan sedih. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga Butuh waktu bagi saya untuk jujur pada diri saya sendiri apakah seseorang itu benar-benar layak menjadi teman saya. Yang terpenting, apakah saya masih ingin menjadi temannya? Saya tahu, manusia bisa berubah kapan saja dia mau. Menjadi lebih baik ataupu...

Menuju: pulang

"Kita akan melakukan perjalanan ke luar dari kita. Mari saudaraku, kita tundukkan kepala, pejamkan mata dan cobalah bersihkan hati kita." "Apaan sich? Norak ih." Runtukku (dalam hati saja). Tapi aku mengikuti yang lainnya, yang mulai menundukkan kepala mereka. "Saudaraku, kita sedang keluar dari diri kita. Dan kita dapat melihat kehidupan kita sendiri selama ini." "Lihat apa sich? Tidak ada apa-apa kok," batinku tapi tetap mencoba ikut dalam (yang kukira) permainan ini. Tapi.. potongan-potongan pagiku tadi mulai berkelebatan dalam benakku. Dimulai dari aku bangun pagi, aku yang selalu tergesa sebelum pergi, aku yang telah membentak asisten mamaku di rumah. Semuanya mulai bergulingan dalam benakku. Kepalaku mulai terasa berat. "Saudaraku, apa yang telah kau lakukan dengan hidupmu?" Dan kepingan-kepingan hidup diriku kembali berserakan. Tak sadar, aku terisak. Melihat aku yang begitu menyia-nyiakan banyak kesempatan untuk berbuat baik. Da...

Knowing "there"

Suatu siang di hari Sabtu.. "I don't belong there, mbak." Aku tersenyum, bukan karena aku menertawakan pemikiran temanku itu. Senyumku lebih karena aku sempat punya pemikiran seperti itu, dulu. Setiap saat aku berada di tengah-tengah orang lain yang kupanggil "teman", aku tidak bisa menghindar untuk tidak bertanya dalam hati, "apakah aku benar-benar termasuk dalam komunitas ini, atau aku hanya lagi memakai topeng nyamanku?" Tidak dapat kupungkiri kalau rasa jengah, kurang nyaman, malu ataupun terkadang minder sering aku rasakan bila lagi berkumpul dengan teman-temanku. Mungkin karena aku merasa terkadang pandanganku berbeda dengan teman-temanku. Juga gaya hidup mereka yang berbeda dengan aku. Bila kamu merasa tidak nyaman dengan teman-temanmu, apakah kamu harus pergi dari mereka? Hmmm, aku akan balik berkata.. "kenapa aku harus selalu mencoba untuk menyamakan bedaku untuk dapat diterima? Pilihan untuk hengkang dari "there" juga tidak per...